PARLEMENTARIA, Sorong — Anggota DPR RI Fauziah Helga Tampubolon mengapresiasi kearifan lokal masyarakat Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, yang secara konsisten menjaga kelestarian ekosistem laut melalui tradisi konservasi adat “Sasi” atau “Egek Laut”. Menurutnya, sistem tradisional ini merupakan contoh nyata penerapan ekonomi biru berbasis budaya lokal yang sudah berlangsung turun-temurun.


Dalam kunjungan kerja Panitia Kerja (Panja) Blue Economy BKSAP DPR RI ke Sorong, Fauziah menyampaikan kekagumannya atas kesadaran tinggi masyarakat Malaumkarta dalam menjaga keseimbangan antara kelestarian alam dan kesejahteraan ekonomi.
Melalui sistem Sasi, warga menahan diri untuk tidak mengambil hasil laut selama periode tertentu agar ekosistem memiliki waktu untuk pulih.


“Tradisi Egek Laut membuktikan bahwa masyarakat adat mampu menjaga laut dengan bijak tanpa kehilangan sumber penghidupan. Saat masa panen tiba, hasil laut jauh lebih melimpah. Ini adalah praktik ekonomi biru sejati lahir dari kearifan lokal,” ujar Politisi Partai Demokrat usai Kunjungan kerja ke Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (12/11/2025).


Fauziah menambahkan, sistem Sasi atau Egek Laut bukan sekadar larangan, melainkan manifestasi filosofi hidup masyarakat pesisir yang menghormati alam sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Ia menilai, nilai-nilai seperti ini patut dijadikan inspirasi nasional dalam merancang kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berakar pada budaya.


“Pendekatan adat seperti ini selaras dengan prinsip Blue Economy yang tengah kami perjuangkan di DPR melalui Panja BKSAP. Pembangunan tidak harus merusak alam; justru dari budaya lokal, kita belajar cara hidup yang harmonis dengan lingkungan,” tambahnya.


Kampung Malaumkarta sendiri dikenal sebagai wilayah pesisir yang memiliki peta tanah adat dengan batas-batas yang jelas. Warga sepakat menjaga dan mengelola wilayah darat maupun laut secara kolektif dan berkelanjutan. Melalui Egek Laut, sebagian wilayah perairan ditetapkan sebagai zona tertutup, di mana aktivitas penangkapan ikan dilarang untuk sementara waktu. Metode merusak seperti bom dan racun ikan dilarang keras, memberi kesempatan bagi populasi ikan dan biota laut untuk pulih secara alami.


Selain menjaga laut, masyarakat Malaumkarta juga mulai mengembangkan ekowisata budaya dan produk lokal bernilai tambah, seperti pala, cengkeh, kakao, dan madu hutan. Semua diolah melalui koperasi adat yang melibatkan perempuan pengusaha lokal, memperkuat ekonomi tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional.


Pendekatan menyeluruh ini sejalan dengan visi Provinsi Papua Barat Daya untuk mempertahankan minimal 70 persen tutupan hutan dan mengelola 50 persen wilayah laut secara efektif.


Bagi Fauziah, langkah Malaumkarta adalah contoh nyata bahwa pembangunan bisa tumbuh dari pelestarian, bukan eksploitasi. “Malaumkarta memberi pesan kuat kepada kita semua: ketika adat dijaga, alam pun menjaga kita. Ini bukan hanya konservasi, tapi peradaban yang berkelanjutan,” tutupnya. (rni/aha)