PARLEMENTARIA, Tangerang Selatan - Proses aksesi Indonesia ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (The Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) mensyaratkan penyesuaian sejumlah regulasi nasional, termasuk dalam hal statistik dan pemberantasan suap lintas negara. Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Ravindra Airlangga, menyatakan bahwa DPR siap menjalankan peran legislatifnya untuk memastikan keselarasan regulasi tersebut.

 

“Tentu kita harus melakukan penyelarasan di level regulasi, baik itu regulasi undang-undang maupun regulasi peraturan pemerintah misalnya. Salah satunya adalah undang-undang tentang statistik, kemudian ratifikasi tentang foreign bribery dan juga terkait dengan undang-undang ketenagakerjaan. Peran Parlemen di sini adalah amandemen regulasi atau dukungan regulasi,” ujar Ravindra kepada Parlementaria usai menghadiri FGD “Mengoptimalkan Peran Parlemen dalam Aksesi Indonesia ke OECD”, di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (26/6/2025).

 

Dalam forum tersebut, perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menjelaskan bahwa salah satu syarat utama OECD adalah kriminalisasi praktik suap terhadap pejabat publik asing. Indonesia juga diharapkan menjadi bagian dari “OECD Anti-Bribery Convention”, yaitu konvensi internasional yang mewajibkan negara anggota untuk mencegah, menyelidiki, dan menghukum penyuapan pejabat asing dalam kegiatan bisnis internasional.

 

Inisiatif ini merupakan bagian dari program “Fighting Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions”, yang menjadi perhatian serius OECD untuk menjamin persaingan usaha yang adil dan tata kelola global yang bersih.

 

“Nah, terkait dengan undang-undang against bribery for (foreign) official ini juga harus ada revisi undang-undang yang terkait dengan hukum,” tambah politisi Fraksi Partai Golkar tersebut.

 

Selain aturan anti-suap, Indonesia juga diminta menyesuaikan indikator ekonomi dalam regulasi terkait Statistik agar sesuai dengan standar pengukuran OECD. DPR melalui Panja Organisasi Internasional akan menyampaikan hasil studi dan berkoordinasi dengan komisi-komisi terkait.

 

“Terkait undang-undang statistik misalnya, diminta mekanisme asesmen terhadap indikator-indikator ekonomi mungkin harus ada standar OECD yang perlu diikuti, dan ini tentu kita harus melihat undang-undang statistik (yang sudah ada),” jelas Ravindra yang merupakan ketua Panitia Kerja (Panja) Organisasi Internasional, BKSAP DPR RI.

 

Revisi regulasi tersebut dipandang sebagai fondasi penting untuk mempercepat proses aksesi dan memastikan Indonesia memenuhi kriteria keanggotaan OECD secara substantif. Proses aksesi Indonesia ke OECD dimulai setelah Dewan OECD memutuskan untuk membuka diskusi aksesi pada 20 Februari 2024, sebagai tanggapan atas permintaan formal dari Indonesia. Peta jalan aksesi disetujui oleh Dewan OECD pada 29 Maret 2024 dan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 2 Mei 2024.

 

Pada 3 Juni 2025, Indonesia secara resmi menyerahkan Initial Memorandum (IM) kepada Sekretariat OECD sebagai bagian dari proses aksesi keanggotaan. Dokumen ini merupakan laporan awal yang mencerminkan posisi Indonesia terhadap kesesuaian kebijakan dan regulasi nasional dengan standar hukum OECD. Adapun IM Indonesia terbagi dalam 32 bagian tematik, mencakup isu-isu strategis seperti Anti-Korupsi, Urusan Fiskal, Kebijakan Regulasi, dan Pengelolaan Anggaran Negara. (uc/rdn)