Tahun 2015 merupakan tahun yang bersejarah dalam kerangka pembangunan global, yaitu berakhirnya target pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/ MDGs) dan dimulainya komitmen negara-negara di dunia untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs) pada 2030. Ada perbedaan utama dalam struktur penyusunan dan rencana implementasi MDGs dan SDGs, yaitu keterlibatan dan peran parlemen yang semakin diakui.
Pada 25 September 2015, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi berjudul “Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development” sebuah dokumen aspiratif yang dengan tegas menyebutkan pentingnya peran parlemen dalam mencapai SDGs. Parlemen dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan dapat memastikan terlaksananya kebijakan-kebijakan yang mendukung pencapaian SDGs secara efektif.
Lebih lanjut, Resolusi tersebut menggarisbawahi pentingnya kontribusi serta kerja sama erat dan engagement antara Parlemen, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, organ-organ PBB, masyarakat adat, masyarakat sipil, pelaku usaha, dan akademisi dalam menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yang tercakup dalam SDGs secara komprehensif, yaitu aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Indonesia secara khusus memberikan kontribusi yang signifikan dalam perumusan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 melalui peran aktif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Presiden Ellen Johnson Sirleaf (Liberia), dan Perdana Menteri David Cameron (Inggris) sebagai Ketua High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) on Post-2015 Development Agenda. Berbagai inisiatif yang lahir melalui HLPEP terangkum dalam laporan Sekjen PBB berjudul: “A life of Dignity for All.” Selanjutnya, melalui rangkaian pertemuan Open Working Group on SDGs (OWG), dihasilkan dokumen OWG Proposals on SDGs yang memuat 17 Tujuan dan 169 Target untuk agenda pembangunan global pasca-2015.
Ada sejumlah tantangan dan dinamika dalam pencapaian SDGs, antara lain: Perbedaan demografis di tingkat nasional, regional, maupun global; arus urbanisasi yang berbanding lurus dengan peningkatan jumlah warga miskin di perkotaan; dan permasalahan birokrasi dan koordinasi antarsektor dan antarlembaga.
Dengan 300 indikator, SDGs merupakan gerakan global yang sangat inklusif, dan oleh karena itu, kemitraan dan kolaborasi di tingkat bilateral maupun multilateral merupakan faktor penting yang sangat dibutuhkan untuk memecahkan tantangan dan mencari solusi terbaik untuk pencapaian SDGs.
Keterkaitan atau interlinkages antartujuan dan antartarget SDGs juga merupakan aspek penting yang perlu menjadi perhatian. Sebagian target merupakan driver untuk mencapai goal lainnya, sementara pencapaian sebagian goal juga bergantung pada tercapainya target-target di goal yang lain. Karena adanya ketergantungan antargoal dan antartarget, implementasi SDGs harus dilaksanakan secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh sektor dan lembaga terkait.
Pencapaian SDGs juga harus dikomunikasikan dan diaplikasikan di tingkat daerah dan pedesaan, antara lain melalui: perencanaan pembangunan dan APBD yang sejalan dengan tujuan-tujuan dan target SDgs; sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; dan kerja sama multi sektor.
Sementara itu, ada sejumlah faktor yang dapat mendukung pencapaian SDGs, antara lain: Pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan korelasi positif dengan peningkatan gizi dan kualitas pendidikan; demokratisasi dan desentralisasi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia; kesatuan ekosistem antara kota dan kota satelit yang mendorong pemerataan pembangunan dan sistem tata kota yang terintegrasi; serta penguatan kerangka kebijakan, hukum, dan institusi nasional.
Untuk menunjang upaya pencapaian SDGs secara menyeluruh, BKSAP DPR RI senantiasa mendukung Pemerintah Daerah untuk berinisiatif dalam menjalin kerja sama internasional, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Internasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini juga selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). BKSAP DPR RI juga kerap mendorong mobilisasi sumber pembiayaan alternatif untuk merealisasikan pencapaian SDGs, termasuk melalui keterlibatan sektor swasta dan lembaga/donor asing.
Di tingkat regional, Indonesia berpotensi untuk memimpin pencapaian SDGs melalui program-program pembangunan yang inovatif dan dapat menunjang terciptanya masa depan yang berkelanjutan. Sementara itu di tingkat global, BKSAP DPR RI berhasil memposisikan Indonesia sebagai role model dalam upaya pencapaian SDGs. Selain aktif menyuarakan pentingnya penyusunan legislasi dan pengalokasian anggaran yang ramah SDGs di berbagai forum antarparlemen, BKSAP DPR RI juga senantiasa berinovasi melalui berbagai aksi nyata yang mewujudkan kepedulian parlemen terhadap pembangunan berkelanjutan.
Di tahun 2017, BKSAP DPR RI menggagas terbentuknya “World Parliamentary Forum on Sustainable Development/WPFSD” yaitu forum antarparlemen pertama di dunia yang didedikasikan khusus untuk membahas isu pembangunan berkelanjutan. BKSAP dalam hal ini merupakan pionir yang menggerakkan parlemen seluruh dunia untuk saling bersinergi dan bertransformasi menuju keberlanjutan kehidupan bersama.
Selain sukses menyelenggarakan WPFSD selama tiga tahun berturut-turut, BKSAP juga merupakan pihak yang pertama kali mengusulkan agar SDGs dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Tujuannya adalah agar SDGs lebih mudah untuk dikomunikasikan dan lebih dekat dengan masyarakat luas. Berdasarkan rekomendasi DPR RI, BAPPENAS menerjemahkan SDGs sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Istilah tersebut telah menjadi bagian penting dalam proses pencapaian dan lokalisasi SDGs di Indonesia.
Kiprah BKSAP selanjutnya dalam pencapaian SDGs terwujud melalui kolaborasi erat antara DPR RI dan United National Environment Programme (UNEP) dalam menyelenggarakan Parliamentary Side Event di sela-sela pertemuan High-Level Political Forum (HLPF) 2019 yang diselenggarakan di New York, AS pada tanggal 9-18 Juli 2019, bersamaan dengan disampaikannya laporan lengkap Voluntary National Review (VNR) Indonesia. Peran DPR yang mampu menjangkau segala lapisan masyarakat, termasuk di pedesaan untuk melakukan sosialisasi TPB menjadi pertimbangan utama UNEP dalam menjalin kerja sama dengan DPR. Acara tersebut mampu mempererat kemitraan antara pemerintah dan parlemen, serta menjembatani kepentingan nasional dan kebijakan internasional terkait TPB. Inisiatif kerja sama UNEP dan DPR RI telah mengukuhkan peran Indonesia dalam tata kelola sistem internasional.