Dalam tatanan dunia saat ini yang semakin global dimana ketergantungan antar negara semakin tinggi, diplomasi memiliki kedudukan yang penting tidak hanya sebagai sebuah instrumen untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara, tetapi juga sebagai instrumen komunikasi efektif antar negara dalam rangka mengatasi berbagai isu internasional yang dianggap sebagai permasalahan bersama. Seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu internasional, aktor diplomasi berkembang tidak lagi hanya terfokus pada pemerintah tetapi juga melibatkan pemangku kepentingan lainnya, terutama parlemen. Sebagai lembaga demokrasi yang menyuarakan aspirasi rakyat, parlemen diharapkan memiliki peran signifikan dalam penyelesaian isu-isu internasional yang dapat membawa dampak sosial, politik dan ekonomi secara langsung kepada rakyat sebagai konstituen.

Di Indonesia diplomasi parlemen menjadi salah satu mandat DPR RI yang merupakan implementasi dari multitrack diplomacy dengan tujuan untuk memperkuat diplomasi eksekutif (dalam hal ini pemerintah), dalam mencapai kepentingan nasional Indonesia. Dalam konteks negara demokrasi yang memiliki karakter parlemen lebih lentur dan tidak terikat protokoler kenegaraan, diplomasi dapat dilakukan dengan lebih terbuka oleh parlemen sebagai sarana aspirasi beragam pandangan bilamana perwakilan eksekutif (pemerintah) tidak bisa menyampaikan agenda kepentingan nasional.

Misalnya pada isu yang sensitif antara Indonesia dengan negara sahabat, dimana ketika ada hal-hal yang tidak mungkin disampaikan secara vulgar oleh Eksekutif, maka DPR bisa melakukan diplomasi dengan melobi counterpart-nya di negara tersebut dengan gaya parlemen yang lebih lentur.  Sebagai contoh: DPR RI baru-baru ini menyelenggarakan Indonesia – Pacific Parliamentary Partnership (IPPP), yaitu suatu forum regional negara-negara di Pasifik yang dimotori oleh DPR RI dalam membahas isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. Namun demikian, kepentingan nasional Indonesia yang menjadi landasan utama dibentuknya IPPP oleh DPR RI tersebut adalah isu Papua.

DPR RI melakukan diplomasi parlemen untuk menggalang parlemen negara-negara Pasifik agar mereka tidak terpengaruh oleh propaganda kelompok separatis Papua. Upaya ini dilakukan pada saat diplomasi pemerintah tengah mengalami kebuntuan komunikasi. Komunikasi yang dilaksanakan oleh anggota parlemen dalam rangka meningkatkan hubungan bilateral termasuk penguatan kerja sama dalam kerangka diplomasi parliament to parliament dan people to people.

DPR memiliki fungsi diplomasi untuk mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan Politik Luar Negeri sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat 2 UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Diterangkan dalam Pasal tersebut, bahwasannya penyelenggara Hubungan Luar Negeri terdiri dari pemerintah dan non-pemerintah. Non-pemerintah yang dimaksud termasuk pula DPR sebagaimana eksplisit dalam penjelasan. Selain itu, peran diplomasi DPR diatur juga dalam Pasal 69 ayat 2 UU No 17 Tahun 2014, di mana fungsi DPR dijalankan dalam kerangka representasi rakyat dan mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri. Begitu pun Pasal 116 UU MD3 yang memberikan mandat kepada Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI dalam pelaksanaan diplomasi parlemen yang mencakup aktivitas internasional DPR baik secara bilateral, maupun multilateral.

Dalam rangka menjalankan fungsi diplomasi parlemen, dibentuklah Alat Kelengkapan Dewan yakni Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) yang mempunyai fungsi untuk membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR RI dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk berbagai organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan anggota parlemen. BKSAP DPR RI juga mempunyai tugas untuk memberikan saran dan rekomendasi kepada pimpinan DPR RI tentang masalah kerja sama antar parlemen sekaligus memperjuangkan dan mempromosikan kepentingan nasional Indonesia.

Di forum internasional kontribusi aktif BKSAP DPR RI memainkan peranan penting dalam  memenangkan persaingan global melalui International Parliament Union (IPU), Asian Parliamentary Assembly (APA), Asian Pacific Parliament Forum (APPF), ASEAN Inter-Parliamentary  Assembly (AIPA), dan  Parliamentary  Union of OIC Members (PUIC). BKSAP memiliki komitmen yang tinggi dalam krisis kemanusiaan seperti di Rakhine, Myanmar dan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, serta menyuarakan keadilan sosial serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam kerangka hubungan bilateral, BKSAP DPR RI membentuk 49 Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) dengan maksud dan tujuan antara lain; menyuarakan kepentingan nasional Indonesia terutama dengan mendorong peningkatan kerja sama Indonesia dengan negara sahabat yang merupakan salah satu peran DPR RI dalam pelaksanaan multitrack diplomacy, disamping tentunya bertukar praktik cerdas dan pengalaman terkait isu-isu global yang menjadi fokus bersama seperti SDGs, gender, demokrasi, HAM, Perubahan iklim, kejahatan transnasional terorganisir dan korupsi.

BKSAP DPR RI juga terafiliasi dengan institusi keuangan, perdagangan, dan pembangunan internasional melalui Parliamentary Committee of the World Trade Organization (PCWTO), dan Parliamentary Network on IMF and World Bank, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global yang inklusif melalui berbagai agenda di setiap pertemuan yang diadakan sekaligus membangun sinergi institusi – institusi tersebut dengan Indonesia. Dalam pertemuan IMF- World Bank pada tahun 2018 misalnya, BKSAP DPR RI memastikan peningkatan investasi dalam Human Capital dan partisipasi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi. Selain itu BKSAP DPR RI juga merupakan inisiator World Parliamentary Forum for Sustainable Development (WPFSD), sebagai bagian upaya dalam mencapai pertumbuhan ekonomi inklusif dengan spirit no one left behind. Melalui WPFSD yang dilaksanakan sejak tahun 2017 ini, BKSAP DPR RI mendorong dan memastikan komitmen para pemangku kepentingan dan negara- negara sahabat dalam pencapaian Agenda 2030 terutama pertumbuhan ekonomi yang inklusif.