Dinamika sistem internasional menunjukkan bahwa state power tidak dapat dipenuhi dari aspek keamanan dan ketahanan nasional semata, namun ada aspek-aspek lain yang berperan signifikan dalam menjaga kedaulatan bangsa, termasuk isu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pasca revolusi finansial di era 1970-an yang ditandai dengan semakin bebasnya arus modal lintas negara, telah terjadi setidaknya lima krisis finansial yang menjadi perhatian para ekonom internasional. Krisis hutang Amerika Latin di era 1970-1980, kegagalan European Rate Mechanism sekitar tahun 1992, jatuhnya nilai tukar peso Meksiko tahun 1994, krisis Asia 1997, dan krisis keuangan global 2008. Bagi Indonesia khususnya, krisis Asia 1997 menjadi pelajaran berharga mengenai mekanisme saling ketergantungan dalam kompleksitas sistem internasional.
Dalam kerangka sistem internasional, peran globalisasi juga tidak dapat dikesampingkan. Globalisasi mengacu pada kebebasan arus modal, percepatan alih teknologi, dan maraknya perkembangan industri telekomunikasi yang membentuk komunitas masyarakat transnasional di mana batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi penghalang bagi setiap individu untuk berinteraksi, termasuk dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Globalisasi telah membuka kesempatan bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk memperoleh akses pasar, teknologi, dan informasi dari negara-negara yang lebih maju. Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga meningkatkan kompetisi.
Timbulnya kesadaran bahwa setiap negara tidak dapat berdiri sendiri adalah salah satu faktor yang menyebabkan tren regionalisme semakin menguat. Terbentuknya Eropa sebagai common market di awal 1993 memperkuat anggapan bahwa untuk meredam dampak negatif globalisasi, suatu negara tidak dapat menghindar dari kerja sama antar negara, khususnya dalam kerangka kerja sama kawasan.
Indonesia merupakan salah satu pionir dalam mengembangkan kerja sama regional. Sejalan dengan hal tersebut, DPR RI melalui peran dan fungsi BKSAP dalam diplomasi parlemen, senantiasa mendukung kebijakan dan inisiatif Pemerintah dalam menginisiasi dan mengakselerasi tercapainya berbagai kerangka kerja sama regional. Di lingkup parlemen, DPR RI aktif berpartisipasi dalam sejumlah forum antarparlemen, seperti pertemuan ASEAN Inter-Parlimentary Assembly (AIPA), Asia-Pacific Parliamentary Forum (APPF), Asian Parliamentary Assembly (APA), Asia-Europe Parliamentary Partnership (ASEP), dan Meeting of Speakers of Eurasian Countries’ Parliaments (MSEAP) yang diselenggarakan secara rutin.
Kiprah DPR dalam mengupayakan kerja sama regional di segala bidang juga tidak terbantahkan. Dalam Sidang Umum AIPA, Delegasi DPR menegaskan pentingnya penyelesaian isu Rohingya secara konsisten. Inisiatif DPR dalam membela hak-hak etnis Rohingya di Myanmar sering kali dianggap berbenturan dengan prinsip non-interference di ASEAN dan menuai penolakan dari berbagai negara. Namun, DPR RI tidak pernah gentar dalam menegakkan prinsip kemanusiaan dan hukum humaniter internasional.
DPR RI merupakan pihak yang pertama kali mengusulkan diselenggarakannya pertemuan Women APPF (WAPPF) di sela-sela pertemuan tahunan APPF. Hal ini merupakan salah satu wujud komitmen DPR RI terhadap pencapaian SDGs, khususnya dalam konteks pemberdayaan perempuan. Inisiatif tersebut disampaikan DPR dalam pertemuan APPF ke-23 di Kanada pada tahun 2015 dan mendapatkan dukungan dari berbagai negara.
Dalam pertemuan MSEAP ke-3 di Turki pada tahun 2018, DPR RI mengusulkan agar negara-negara Eurasia mengurangi dependensi terhadap Dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional. Upaya tersebut dapat meredam dampak krisis mata uang yang saat itu dialami oleh negara-negara anggota MSEAP. Indonesia bersama Thailand dan Malaysia telah membentuk Local Currency Settlement Framework (LCS) yang mengatur penyelesaian transaksi perdagangan dengan mata uang lokal. DPR RI juga menegaskan bahwa stabilitas ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan dapat menopang pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Di tahun 2018, DPR RI bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri juga berinisiatif untuk mengadakan pertemuan Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) di Jakarta pada 23-24 Juli 2018 dengan mengangkat tema “Human Development and Maritime Sustainability”. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan parlemen dari 15 negara Pasifik, antara lain Republik Fiji, Kepulauan Cook, Federasi Mikronesia, Republik Kiribati, Republik Nauru, Niue, Republik Palau, Papua Nugini, Republik Kepulauan Marshall, Samoa, Kepulauan Solomon, Kerajaan Tongga, Tuvalu, Polynesia Perancis dan Kaledonia Baru.
Melalui IPPP, DPR RI berupaya untuk meningkatkan persahabatan dengan parlemen negara-negara Pasifik. Dalam Pertemuan IPPP, para Delegasi menyepakati Chair Statement sebagai outcome document yang merefleksikan kesepakatan para Delegasi untuk mempererat kemitraan di bidang ekonomi, pembangunan kelautan dan kemaritiman. Secara khusus, DPR RI berupaya untuk merangkul negara-negara Pasifik dan menangkal upaya isu internasionalisasi Papua oleh kelompok separatis United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang diberikan status sebagai observer dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) pada bulan Juni 2015. Gerakan tersebut memperoleh dukungan dari komunitas di negara-negara yang menjadi basis OPM, seperti Amerika Serikat, kawasan Eropa, Australia, Selandia Baru dan negara-negara di Pasifik Selatan. Ada tujuh negara yang mendukung kemerdekaan Papua di kawasan ini, yaitu Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon. Melalui IPPP, DPR RI telah mewujudkan kepedulian yang mendalam terhadap kedaulatan NKRI. Selain berpartisipasi aktif dalam mendukung regionalisme, BKSAP DPR RI pada awal tahun 2017 telah membentuk Panja Kerja Sama Ekonomi Regional (KER) sebagai kelanjutan Panja Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dibentuk pada Desember 2015. Panja KER dibentuk dengan mempertimbangkan pentingnya fungsi pengawasan atas kesepakatan-kesepakatan kerja sama ekonomi yang disepakati di level pemerintah agar senantiasa berpedoman pada visi kemandirian ekonomi nasional serta memberikan kontribusi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.