Parlemen terbuka: gerbong terdepan dalam jaringan keterbukaan parlemen.
Salah satu elemen krusial dalam pembangunan iklim demokrasi adalah perwujudan good governance (tata kelola yang baik) dalam segala urusan publik. Ini berarti bahwa sebagai pemangku kebijakan, DPR perlu mendorong terwujudnya transparansi hingga akuntabilitas dari setiap laku lembaga negara.
Berangkat dari kenyataan tersebut, DPR menyadari bahwa hal tersebut tidak hanya akan selesai dengan kata-kata ataupun janji semata. Selain produk dan perangkat peraturan yang telah disahkan DPR khususnya dalam hal yang memenuhi hak ingin tahu (the right to know) masyarakat atas informasi publik melalui UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Lembaga legislatif berkomitmen penuh untuk menjadi lembaga legislatif modern yang terbuka, transparan dan akuntabel seiring dengan proses reformasi DPR menuju visi Parlemen Modern.
Upaya menuju realisasi tersebut tak hanya dilakukan dalam skema nasional semata. Dalam lingkup internasional, DPR juga berkeinginan menggali beragam mekanisme dan cara serta praktik-praktik cerdas terbaik yang mendorong keterbukaan lembaga legislatif. Itu sebabnya, pada 29 Agustus 2018, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun DPR ke-73, Pimpinan DPR dan segenap pemangku kepentingan lembaga legislatif mencanangkan Deklarasi Parlemen Terbuka. Deklarasi tersebut menegaskan komitmen transparansi informasi DPR sekaligus sebagai penegasan bahwa secara internasional, DPR akan bergabung dalam satu komunitas besar dalam mekanisme multilateral yakni Open Government Partnership (OGP) melalui pengiriman Rencana Aksi Nasional Keterbukaan Parlemen ke OGP. Rencana Aksi Nasional (RAN) 2018-2020 tersebut menjadi suatu hal yang luar biasa mengingat untuk kali pertamanya DPR mengajukan rencana aksi yang terpisah dari pemerintah. RAN Keterbukaan Parlemen yang diajukan DPR tersebut terdiri dari (i) transparansi data legislasi, (ii) penggunaan teknologi informasi, (iii) transparansi informasi publik, (iv) peta jalan parlemen terbuka, (v) kelembagaan.
OGP merupakan mekanisme multilateral yang mengumpulkan para reformis di pemerintahan dan masyarakat sipil untuk mendorong rencana aksi yang membuat pemerintah lebih inklusif, responsif dan akuntabel. OGP berdiri sejak 2011 dan Indonesia merupakan negara pendiri bersama Brazil, Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat.
Inisiatif untuk menyusun rencana aksi secara lebih independent, bermula dari partisipasi aktif Delegasi DPR RI dalam the 2nd Global Legislative Openness Conference, yang terselenggara Mei, 2017 di Ukraina. Konferensi tersebut membawa perspektif baru kepada lebih dari 50 parlemen yang hadir dalam isu keterbukaan parlemen. DPR pada konferensi tersebut juga menguraikan sejumlah upaya menuju keterbukaan parlemen. Kendati demikian, beragam inovasi teknologi dan juga kebijakan keterbukaan parlemen yang disampaikan beragam negara, akhirnya mendorong DPR untuk melakukan terobosan lebih serius untuk terlibat aktif dalam rezim keterbukaan informasi yang digaungkan OGP. Terlebih sejak 2013, OGP telah menghasilkan Legislative Engagement Policy Guidance yang diperbarui menjadi Parliamentary Engagement Policy Guidance (2017).
Maka wacana untuk menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Keterbukaan Parlemen yang terpisah dari Pemerintah mencuat. Untuk itu proses komunikasi dan kerja sama dengan masyarakat sipil mulai terjalin salah satunya dengan Indonesian Parliamentary Center (IPC). DPR bersama IPC menjalin komunikasi terus menerus untuk proses aksi keterbukaan parlemen. Momentum berikutnya semakin menguat manakala DPR mengikuti The 5th OGP Summit, di Georgia, Juli 2018. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi tersebut, DPR yang tergabung menjadi satu Delegasi bersama Pemerintah dan juga masyarakat sipil, mengikuti Open Parliament Day di sela-sela KTT ke-5 OGP. Dalam pertemuan tersebut beragam informasi mengenai keterbukaan parlemen, termasuk RAN Keterbukaan Parlemen yang terpisah dari Pemerintah seperti RAN Parlemen Georgia mengemuka.
Dialog kemudian berlanjut antara DPR dengan sejumlah masyarakat sipil dari Indonesia, seperti Fitra, IPC, MediaLink hingga tim dari OGI pada pertemuan informal untuk membahas rencana tindak lanjut pasca-keikutsertaan DPR RI ke KTT OGP Georgia. Salah satu kesepakatan yang mengemuka adalah untuk mewujudkan RAN Keterbukaan Parlemen yang independen dari Pemerintah.
Berbasis prinsip co-creation, yang menjadi landasan prinsip kerja OGP, DPR bersama masyarakat sipil menyusun bersama RAN Keterbukaan Parlemen 2018-2020. Setelah mendapatkan draf awal dari IPC, Unit Pendukung DPR RI, membentuk Open Parliament Indonesia (OPI) Support Unit untuk membahas lebih detail rencana aksi tersebut. Pada akhirnya RAN disetujui Pimpinan DPR untuk kemudian diajukan ke OGP bersamaan dengan RAN Pemerintah.
Diskusi Open Parliament, tidak hanya berada di domain KTT OGP semata. Dalam blok negara seperti Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia (MIKTA), diskusi mengenai keterbukaan khususnya Open Government dan Open Parliament juga mengemuka pada Pertemuan Konsultatif MIKTA kedua di Tasmania, Australia, Oktober 2016. Dalam diskusi MIKTA tersebut, Ketua DPR, Ade Komaruddin, menegaskan bahwa Parlemen perlu berperan dalam RAN Keterbukaan.
Kini komitmen keterbukaan parlemen diuji oleh mekanisme multilateral dari OGP, mengingat sejumlah prinsip-prinsip seperti penggunaan teknologi, co-creation, self-assesment harus dipenuhi. Pada the 6th OGP Summit, yang digelar di Kanada, 2019, diskusi mendalam mengenai keterbukaan parlemen semakin menguat terlebih dengan adanya Parliamentary Track yang digelar oleh Parlemen Kanada bekerjasama dengan ParlAmericas.
Komitmen keterbukaan parlemen perlu mendapat apresiasi luar biasa mengingat dalam level internasional dan regional, DPR RI menjadi satu dari sedikit parlemen di Asia Pasifik yang memiliki RAN Keterbukaan Parlemen terpisah dari Pemerintah. Untuk itu, ke depan, BKSAP berkomitmen memberikan dukungan semaksimal mungkin agar DPR tetap menjadi pihak yang terdepan, menjadi pionir keterbukaan parlemen di level global. Terlebih, dalam level internasional, pasca-pengajuan RAN Keterbukaan Parlemen 2018-2020, DPR akan secara resmi mengikuti mekanisme multilateral yang berlangsung di OGP, yakni mekanisme penilaian independen via Independent Reporting Mechanism (IRM) dan juga evaluasi menyeluruh dari masyarakat sipil, sesuai prinsip-prinsip OGP.