Secara konseptual perdamaian dan keamanan dalam kerangka Hubungan Internasional memiliki bidang kajian dan pendekatan yang cukup luas. Tidak hanya berbicara mengenai masalah-masalah yang disebabkan oleh ancaman keamanan tradisional yang terfokus pada keamanan negara (State Security), tetapi juga ancaman keamanan non-tradisional yang langsung terkait dengan keamanan manusia (Human Security) seperti Kejahatan Transnasional (antara lain drugs trafficking dan human trafficking), serta Terorisme. Secara faktual dinamika politik internasional dari waktu ke waktu dalam perspektif perdamaian dan keamanan memang tidak pernah lepas dari konflik dan perang. Indeks Perdamaian Global pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun terakhir terdapat penurunan yang cukup signifikan pada perdamaian global dengan tingkat rata-rata perdamaian di setiap negara menurun sebesar 0,27%. Sementara itu Council of Foreign Relations Global Conflict Tracker mencatat bahwa beberapa konflik besar yang masih berlangsung hingga saat ini di dunia berpotensi untuk berkembang menjadi perang terbuka. Konflik-konflik tersebut antara lain; Krisis di Semenanjung Korea, Sengketa Teritorial di Laut China Selatan, serta Instabilitas Politik dan Keamanan yang berkepanjangan di Timur Tengah.

Tidak ada perubahan yang signifikan paska pertemuan fenomenal antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Keduanya belum berhasil mencapai kata sepakat dalam hal penghentian program nuklir Korea Utara. Ini berarti kekhawatiran akan terjadinya perang nuklir masih membayangi kawasan Asia Pasifik. Disamping itu perilaku asertif militer Tiongkok melalui pembangunan sepihak pangkalan-pangkalan militer di pulau-pulau yang terletak di Laut Tiongkok Selatan serta pembangunan kekuatan militernya yang tidak transparan memancing kecurigaan dan kesiagaan tinggi dari militer Amerika Serikat. Benturan kepentingan strategis antara Tiongkok dan Amerika Serikat di Laut Tiongkok Selatan bisa berubah menjadi perang terbuka kapan saja. Kondisi-kondisi yang demikian ini mengakibatkan ketidakpastian keamanan yang berdampak negatif bagi kondusifitas global secara umum dan regional secara khusus sebagai lingkungan strategis bagi Republik Indonesia.

Ketidakpastian keamanan tersebut diperparah dengan adanya ancaman Terorisme yang dipicu oleh instabilitas politik dan keamanan yang berkepanjangan di Timur Tengah. Dimana posisi ISIS yang semakin terjepit oleh serangan Amerika Serikat dan Sekutunya, berimbas pada munculnya gelombang kepulangan eks kombatan-kombatan ISIS dari Suriah ke negara-negara asalnya termasuk kawasan Asia Tenggara. Gelombang kepulangan ini dikhawatirkan memicu radikalisme baru yang bisa sewaktu-waktu bertransformasi menjadi aksi teror. Disamping itu ancaman keamanan secara langsung terhadap manusia dari Kejahatan Transnasional seperti Drugs Trafficking juga masih menjadi permasalahan yang memerlukan upaya ekstra dalam penanganannya. Indeks penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obatan terlarang khususnya di kawasan ASEAN dari waktu ke waktu menunjukan perkembangan yang memprihatinkan. Di Indonesia sendiri tercatat kini ada 5 juta kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dengan korban meninggal per hari mencapai 40-50 orang.

Permasalahan-permasalahan diatas tidak bisa dihadapi oleh satu negara sendirian. Butuh komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang baik, antara negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama atas isu-isu tersebut. Oleh karena itu sebagai salah satu pemangku kepentingan dari Politik Luar Negeri Indonesia, DPR RI melalui BKSAP selama kurun waktu 2014-2019 secara aktif melaksanakan diplomasi parlemen melalui keanggotaannya dalam organisasi antar parlemen regional maupun internasional seperti AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly), APPF (Asia Pasifik Parliamentary Forum) ataupun Organisasi Parlemen Negara-negara Konferensi Islam (PUIC). Diplomasi parlemen DPR RI juga merupakan implementasi UU nomor 17 tahun 2014 pasal 116, yang mencantumkan bahwa BKSAP bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain.

Melalui sidang Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) ke-24 pada tahun 2015 di Kanada, Indonesia bersama Rusia, Malaysia, Meksiko, dan Chile berhasil memperjuangkan Resolution on Counter-terrorism yang mengajak negara-negara anggota APPF untuk memperkuat kerjasama antar parlemen dan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme antara lain melalui perangkat legislasi dan kebijakan yang memperkuat upaya penanggulangan terorisme di tingkat nasional. Selain itu mengajak negara-negara anggota APPF untuk mengimplementasikan UN Security Council Resolution 2178 yang menghimbau pendekatan komprehensif bagi penanggulangan terorisme khususnya yang terkait ISIS. Selain itu, dalam pertemuan APPF ke-26 di Hanoi pada tahun 2018, DPR RI berhasil mengajukan usulan (i) agar Parlemen negara-negara Asia Pasifik bersikap tegas mengutuk aktivitas kebencian yang dapat menjadi dukungan atas aksi terorisme dan (ii) mendorong parlemen Asia Pasifik secara masing-masing, untuk menjadi pusat dialog antar masyarakat berbeda agama, kelompok, budaya dan lainnya, dengan tujuan untuk mencari kesepahaman, memerangi miskonsepsi, mengedepankan toleransi dan saling menghargai.

Kemudian pada Sidang APPF ke-27 pada tahun 2019 di Kamboja, delegasi BKSAP menekankan bahwa perdamaian dan agenda pembangunan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui terciptanya rasa saling percaya antara negara-negara di kawasan. Delegasi Indonesia juga mendorong agar negara-negara anggota APPF meratifikasi Konvensi PBB yang menentang kejahatan transnasional dan mengimplementasikannya secara nasional dalam undang-undang mereka. Lebih jauh, berdasarkan pertimbangan bahwa pendanaan aksi teror seringkali bersumber dari kejahatan transnasional, Indonesia meratifikasi UN Convention against Transnational Organized Crime yang disahkan melalui UU nomor 5 tahun 2009, dimana dijelaskan bahwa kerjasama internasional perlu dibentuk dan ditingkatkan guna mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisir.      BKSAP DPR RI juga menyuarakan pentingnya membangun rasa saling percaya yang melandasi kerjasama diantara negara-negara di Asia Pasifik untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea, mengingat bahwa hal tersebut merupakan kunci untuk mencapai perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran tidak hanya di kawasan, tetapi juga di dunia.

BKSAP DPR RI juga aktif memperjuangkan kawasan ASEAN yang bebas dari penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obatan terlarang melalui forum ASEAN Inter-Parliamentary Assembly Advisory Council on Dangerous Drugs (AIPACODD). Dalam sesi pertemuan kedua AIPACODD baru-baru ini di Chiang Mai Thailand, Delegasi BKSAP DPR RI menekankan pada munculnya sejumlah tantangan baru terkait isu penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obatan terlarang di kawasan ASEAN. Tantangan-tantangan tersebut antara lain: Penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara luas, terutama opiat dan stimulan jenis amfetamin (ATS); Semakin berkembangnya Zat Psikoaktif Baru (NPS); Tren yang berkembang dari perdagangan obat-obatan terlarang melalui laut di wilayah tersebut; dan peningkatan penggunaan narkotika di kalangan pemuda. Dalam pertemuan tersebut Delegasi BKSAP DPR RI juga melaporkan keberhasilan aparat keamanan Indonesia dalam menggagalkan penyelundupan 1.034ton metamfetamin yang dibongkar oleh Badan Anti Narkotika Indonesia (BNN) dan Angkatan Laut Indonesia, serta penyelundupan 1,6ton metamfetamin yang dibongkar oleh Polisi Nasional Indonesia (Polri) dalam operasi yang berbeda. Kedua kasus itu melibatkan Sindikat Tiongkok.

Sementara itu melalui pelaksanaan AIPA Caucus yang ke-9 pada tahun 2017, DPR RI sebagai tuan rumah berhasil menggalang kesepahaman pada sesama negara anggota ASEAN untuk mengupayakan solusi damai melalui dialog terkait sengketa Laut Tiongkok Selatan. Negara-negara ASEAN juga sepakat untuk mengedepankan negosiasi damai dengan Tiongkok melalui implementasi penuh dan efektif dari Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan / Declarations of Conduct (DOC) yang telah ditandatangani oleh ASEAN dan Tiongkok, guna menjamin stabilitas dan keamanan kawasan bagi semua.

Sementara itu pada sidang PUIC (Parliamentary Union of Islamic Countries) ke-14 di Maroko baru-baru ini, Delegasi BKSAP DPR RI menyampaikan dukungannya dalam penyusunan Resolusi Combating Terrorism under the UN Umbrella and Reaffirming the Legitimate Right to Resist Foreign Occupation and Aggression yang mendorong ditingkatkannya kerjasama antar anggota PUIC dalam menanggulangi terorisme antara lain dengan bertukar informasi, bertukar pengalaman dan berbagi praktik cerdas.