PARLEMENTARIA, Depok - Pembahasan aksesi Indonesia ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tidak hanya menyinggung aspek regulasi dan tata kelola pemerintahan. Dalam kunjungan BKSAP DPR RI ke Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), isu pendidikan turut mengemuka sebagai faktor penentu yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam memenuhi standar internasional.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua BKSAP sekaligus Ketua Panja Organisasi Internasional, Ravindra Airlangga menegaskan bahwa aksesi OECD mensyaratkan sinkronisasi sejumlah regulasi. Dua aturan utama yang menjadi prioritas adalah undang-undang statistik serta undang-undang terkait penyuapan oleh pejabat asing. Ravindra menyebut ada pula regulasi lain yang bersifat tambahan seperti undang-undang persaingan usaha dan BUMN.

 

Wakil Ketua BKSAP Irine Yusiana Roba Putri menambahkan bahwa selain regulasi-regulasi tersebut, pendidikan juga menjadi faktor krusial dalam pemenuhan standar OECD. Menurutnya, standar pendidikan tidak bisa dilepaskan dari praktik tata kelola yang baik.

 

“Tetapi selain itu, satu yang saya masih ingat bahwa selain yang Ravindra sebutkan sebagai wajib dan sunnah itu juga kalau saya tidak salah menangkap; juga menjadi sebuah kewajiban undang-undang yang Indonesia harus miliki standarnya adalah yang terkait dengan pendidikan,” jelas Irine dalam pertemuan antara pimpinan BKSAP DPR RI dengan Rektor dan para akademisi UIII di Depok, Jawa Barat pada Selasa (30/9/2025).

 

Lebih lanjut, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menggarisbawahi mutu dan kualitas pendidikan sebagai syarat yang berimplikasi langsung pada praktik good governance. Menurutnya, tanpa percepatan reformasi pendidikan, Indonesia akan sulit dianggap setara dengan negara anggota OECD.

 

“Tadi Pak Rektor menyebutkan bahwa bagaimana kita bisa mengakselerasi dunia pendidikan kita dan dianggap dalam tanda kutip oleh OECD sebagai setara jika kita tidak bisa memenuhi beberapa persyaratan yang sebenarnya jika ada itu bisa menumbuhkan, meningkatkan mutu dan kualitas dunia pendidikan,” katanya.

 

Irine juga menyinggung keluhan akademisi mengenai beban administratif yang kerap menumpuk pada dosen. Hal itu, menurutnya, dapat menghambat peningkatan kualitas pendidikan jika tidak segera dicarikan solusi regulatif. Karena itu, BKSAP membuka ruang masukan dari kalangan akademisi untuk memperkuat basis regulasi pendidikan.

 

“Karena ini kebetulan Pak Bram di Komisi X. Saya yakin pasti regulasi yang mengatur dunia pendidikan itu masih banyak celahnya. Walaupun prolegnas baru saja ditetapkan, tetapi bagi saya ini masih banyak yang kita bisa upayakan. Untuk sama-sama mengupayakan hal terbaik bisa terjadi di dunia pendidikan,” tegasnya.

 

Dalam kunjungan ke UIII tersebut, hadir Ketua BKSAP Mardani Ali Sera didampingi para Wakil Ketua BKSAP termasuk Bramantyo Suwondo yang juga anggota Komisi X DPR RI. Menutup penjelasannya, Irine mengingatkan bahwa pencapaian standar good governance tidak akan terwujud jika pendidikan masih belum dijadikan prioritas utama.

 

“Ini kalau dunia pendidikan yang tidak dibenahi, tidak menjadi skala prioritas di dalam pembenahan tata kelola, maka sampai tahun kuda itu tadi ya bahasanya, itu gak akan pernah berhasil. Good governance itu bisa terjadi kalau kita kuat secara fundamental di pendidikan. Karena karakter pelaku ini adanya di dunia pendidikan,” pungkasnya. (uc/aha)